Akashic Record >> Kehidupan Damai Kita Bersama >> Chapter 1
Chapter 1
Dalam gelapnya ruangan berdebu, seorang pemuda duduk di depan layar komputer. Sorotan samar dari monitor seakan mencoba menyembunyikan wajah letih dibalik pantulan kacamatanya, sekedar memperlihatkan jemari tangannya yang sedang bermain di atas keyboard dalam bingkai siaran tersebut.
Kolom obrolan menjadi sedikit ramai.
[ tidak masuk melihat bossnya? ]
[ bye bye! thx for the stream ]
[ Sampai jumpa nanti malam? ]
“Mari kita simpan boss monsternya untuk bagian dua, dan berbicara untuk rencana malam ini. Maaf tapi tidak ada live stream, kita seharusnya sudah cukup familiar dengan seberapa bermasalahnya perilisan sebuah game MMORPG1 bukan?”
Melepas headset dari telinga dan melingkarkannya di leher pemuda itu menikmati sisa waktunya di penghujung streamingnya, sekedar berbincang ringan menjawab beberapa pertanyaan dari penontonnya.
Dalam sesi tersebut, pandangannya melirik pada satu pertanyaan yang menarik perhatiannya. [ Apakah menurutmu bermain itu membuang waktu…? ] Sedikit mengganjal dalam pikirannya, pemuda itu berpikir, ada benarnya.
Tenggelam dalam sebuah dilema, kilasan ingatan buruk terlintas, setiap perkataan yang keluar dari mulutnya saat itu sudah menjadi seperti suara latar statik yang bergema tanpa akhir. Kolom obrolan bertanya atas keheningan yang terjadi.
*gruuuu~
“Ah- benar. Mari kita akhiri disini, sekian dan sampai jumpa!” Bunyi perutnya seakan membawanya kembali pada kenyataan. Segera menyelesaikan siaran, *Hufft pemuda itu menghelakan nafas dan menyandarkan sebentar pundaknya ke kursi.
Cahaya oranye langsung menyambut lembut dirinya, decit suara pintu seakan menghantam kesunyian sore. Pemuda itu turun ke lantai dasar rumahnya dan membuka kulkas hanya untuk mendapati.
Tidak ada apa-apa di sana, sama seperti isi dompetnya saat ini. Sekali lagi menghelakan nafas, wajahnya itu menunjukan ekspresi seakan sudah terbiasa dalam situasi tersebut- *ding dong suara bel terdengar.
“Tch. Aku tidak mengingat jika jadwal pembayarannya adalah hari ini, padahal hanya selisih beberapa hari…” Suara decak dari mulutnya seperti memberi tau bahwa dirinya bisa menebak siapa yang datang di sore hari itu.
*ding dong
*ding dong
Melewati tumpukan kantong sampah, pemuda itu mencoba untuk tetap sabar setelah mendengar bel rumahnya terus saja di bunyikan. Dengan menahan sabar pemuda itu membukakan pintu dan siap, menyambut ramah mereka.
Namun.
Dalam waktu singkat tersebut matanya melebar seakan tidak percaya.
“Onii-sama!”
Gemerlap hijau kilauan mata itu membuatnya terlalu terkejut untuk bisa merespons apa yang sedang terjadi, pemuda itu membentangkan lebar tangan dengan cepat dan menangkap seorang gadis kecil yang menerjang ke arahnya secara tiba-tiba.
*Dubrakk
Eh! Ehhhh!! Mengapa gadis kecil ini langsung memelukku?
Kehidupan Damai Kita Bersama
“Huh, apa maksudnya dengan sementara waktu?! Lagipula, kenapa harus aku yang menjaganya? Bukankah ada mereka yang lebih cocok dengan pekerjaan seperti ini, memenuhi kebutuhan sendiri saja aku sudah-”
Dari pantulan kaca berdebu raut wajahku tertampang jelas masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, karena itu aku menelpon seseorang yang mungkin bisa menjelaskan, tapi apa yang bisa kuharapkan.
“Apakah itu juga termasuk biaya listrik dan air?” Setelah sekian lama tak saling menghubungi satu sama lain, dirinya memaksaku untuk merawat dan menjaga seorang gadis kecil, yang merupakan…
Adik baru ku.
“Baiklah, baiklah aku mengerti.”
Meski begitu aku masih tidak percaya bahwa dirinya memutuskan untuk menikah lagi diusia lansianya, menggeser pintu teras aku membiarkan angin sejuk berhembus masuk dan melihat ke langit sore berawan.
“Hum. Iya. Sampai-”
*beep beep beep ...
“Jumpa… dan dirinya langsung menutup telepon seakan punya kesibukan lainnya yang lebih penting. Menjengkelkan.” Baiklah, mari kembali pada main event.
Gadis itu duduk tenang seakan tidak peduli dengan sekitarnya, rambut hitam legam dengan kulit cokelat manis. Tomboy adalah kesan pertama yang terpikirkan, jika bukan karena gaun putih di balik hoodie yang dirinya kenakan sekarang. Itu imut.
Entah mengapa, rasanya aku pernah bertemu dengannya.
Tapi dengan tampilan karakter seperti ini seharusnya akan sangat mudah mengenalinya, ditambah dengan pupil mata yang berwarna hijau terang seperti itu dan entah mengapa. Aku tidak bisa mengingatnya sama sekali, hmm…
“Onii-sama?”
“Ah maaf…! Bisa aku tau siapa namamu?”
“Ica, panggil saja Ica.”
“Hem~ Hem~ Dimengerti, tapi pertama-tama aku Arjuna. Jika ayah sudah menjelaskan latar belakang keluarga kami, bisakah Ica berhenti memanggilku seperti itu. Panggil saja Arjuna-”
*grusakk
Suara plastik sampah yang terjatuh datang dari arah belakang gadis ini, seketika memotong apa yang ingin ku sampaikan. Kami terdiam dalam keadaan yang canggung, masih fokus menoleh ke arahku Ica menganggukan kepalanya.
“Baik, Onii-sama.” Ucapnya dengan ekspresi yang datar.
Mengerti bahwa hal seperti ini akan terjadi aku menepuk jidat atas kekacauan yang telah terjadi, cukup dengan melihat wajahnya pasti akan sulit untuk memintanya berhenti memanggilku seperti itu. Untuk sekarang.
“Ehem~ Ica benar. Bisakah Ica menunggu sebentar di sini, aku akan merapikan kekacauan ini dengan cepat dan setelah itu baru ku ajak berkeliling serta menunjukan kamar mu.” Tempat ini sudah bak kapal pecah, sungguh memalukan.
“Biarkan Ica ikut membantu.” Tangannya meraih lembut helai baju ku.
“Tidak tidak, pasti melelahkan setelah perjalanan kemari-”
Bah. Gemerlap di matanya yang menembus ekspresi datar itu seketika membuat wajahku menoleh ke arah langit-langit tanpa sebab yang jelas, jadi aku harus bertahan menghadapi ini untuk sementara waktu kah. Harus bagaimana sekarang…
“Baiklah-baiklah lakukan sesukamu.”
Pada akhirnya kami membersihkan rumah bersama. Sembari mengajaknya berkeliling untuk mengenalkan tempat ini, aku masih tidak percaya membuat seorang gadis kecil sepertinya sampai membantuku.
Barang bawaannya tidak begitu banyak, sebagai gantinya membantuku, aku membantu dengan membawakan barang-barang bawaannya dan menunjukan kamar yang akan digunakannya untuk kedepannya.
“Jika Ica membutuhkan sesuatu… aku mungkin berada di dalam kamar.”
Sembari menunjuk ke arah kamarku yang kebetulan tepat berada di sebelah kamarnya. Maksudku, hanya ada tiga kamar tidur di rumah ini dan yang bisa digunakan hanyalah ini.
“Woah…! Sudah kuduga.” Begitulah aku mengalihkan pandanganku sebentar dan melihatnya sudah mengintip masuk kedalam kamarku.
“Oi, jangan seenaknya masuk kamar orang. Lalu apanya dengan ‘sudah kuduga’ itu huh?” Menahan kepalanya seperti ini aku mulai berpikir, entah mengapa rasanya kami menjadi cukup dekat dengan mudahnya.
“Uh, tidak bukan apa-apa.”
“Hehh…”
Meski wajahnya yang datar tanpa ekspresi mengingatkan ku dengan seseorang, Ica tidak disangka cukup mudah diajak berkomunikasi. Lalu ditambah dengan tingkah lakunya yang lucu, sial aku mencoba menahan diri untuk tidak mengelus kepalanya.
“Apa Ica punya alergi?”
Tanpa ku sadari, senja datang lebih cepat dari yang kuharapkan.
“Uhh…?”
“Ayah membagikan sedikit uangnya untuk kebutuhan kita sebagainya, jadi jaga rumah sebentar untuk ku. Oke? Karena itu, apa ada makanan yang tidak bisa Ica makan atau semacamnya?”
“Ikan. Ica kurang sukang ikan.”
“Baiklah.” Dengan lembut aku mengelus kepalanya.
* * *
Kembali dari berbelanja, aku mendapati suara rembesan air dari kamar mandi yang terdengar sampai sini. Melihat televisi di ruang tengah menyala, aku sedikit lega bahwa Ica dapat merasa nyaman tinggal di rumah ini.
Mengeraskan sedikit suara televisi, aku segera pergi ke dapur dan menyiapkan makan malam. Ramai. Banyak suara yang saling bertumpukan dalam waktu yang bersamaan, dan anehnya.
Aku merasa tentram.
Tidak pernah terbayangkan aku akan memasakkan makan malam selain untuk diriku sendiri, tidak sekalipun. Terlalu banyak yang terjadi, rasanya terlalu mendadak dalam satu hari, ini membuat kepalaku memikirkan banyak hal.
Menyadari bahwa keseharian ku untuk beberapa waktu kedepan mungkin akan banyak berubah, aku kembali pada satu pertanyaan dari kolom obrolan yang sedikit mengganjal dalam benak ini.
Tidak ingin ambil pusing, lebih baik aku memikirkan tentang tanggung jawab baru yang sangat tidak cocok untuk orang seperti ku. Meski hanya sementara. Benar, pada saat itu tangan ku berhenti bergerak sebentar.
Seperti melupakan sesuatu yang penting.
*Grusukk
*Gubrakk
Mendengar beberapa suara keras, aku yang panik bergegas menuju kamar mandi secepatnya dengan masih memegang sutil di tangan. Tanpa berpikir panjang membuka pintu dan memeriksa keadaannya.
“Ica! Apa kau baik-baik saja?!” Aku berteriak.
“...!”
Betapa bodohnya diriku.
Wajah itu memerah tanpa ekspresi, Ica bergegas menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan handuk. Segera ku tutup kembali pintu kamar mandi, bisa langsung memahami bahwa di episode berikutnya diriku akan berada dalam masalah besar.
Side Note
1MMORPG
Massively Multiplayer Online Role-Playing Game
Kolom Komentar